Judul
buku : Siluet Senja
Penulis : Guslaeni Hafid dan Rina Fariana
Penerbit : Gema Insani
Kota tempat terbit : Jakarta
Cetakan : 1
Tahun
terbit : 2004
Tebal
buku :
202 hlm
Harga
buku : Rp 21.500,00
Peresensi
:
Muhamad Syaeful Anwar
Guslaeni
Hafid lahir 30 Agustus 1980, kemampuannya dalam tulis menulis mulai terlihat
sejak dia duduk di
bangku
SD. Tulisan tangannya yang berbentuk artikel ramaja pernah nongkrong di majalah
Permata atau
buletin
Studia. Ria Fariana lahir di Surabaya,
7 Oktober 1977. Mulai menulis sejak SD berupa cerpen
termuat
untuk pertama kali di majalah Permata edisi April 2003 yang berjudul Opera
SMU. Novel Siluet
Senja ini
adalah karyanya pertama kali dalam bentuk buku kerja sama dengan teman dunia
maya, Hafid.
Siluet
senja adalah novel bertema yang cukup unik, menggigit dengan pesan perjuangan
hidup. Perjuangan hidup memilih cinta atas dasar kekuatan
ideologis. Cerita ini berawal dari persahabatan yang terdiri dari empat orang
di antaranya, Meta, Anjani, Dewi, Jane.
Hubungan persahabatan mereka sangat erat, saling mengerti satu sama lain. Suatu
hari Jene mengadakan pesta ulang tahun, dan kakaknya yang bernama Steve dari Scotland datang ke Indonesia untuk menghadiri pesta
ulang tahun adiknya. Di situ Stave dan Meta
dipertemukan. Stave kagum dengan sosok Meta
yang manis. Keesokan harinya Steve menitipkan salam kepada Jane, salam itu
untuk Meta. Proses perkenalan itu berjalan
mulus, dan akhirnya mereka resmi menjadi dua pasang kekasih, tetapi Meta merahasiakannya kepada teman-temannya, karena ia
sudah berjanji tidak akan mempunyai pacar sebelum lulus dari SMA.
Tiga
tahun mereka melangsungkan proses belajar di SMA sampai lulus sekolah. Mereka
berempat akan melanjutkan studinya di perguruan tinggi melalui tes SPMB, tetapi
dari keempat sahabat itu ada yang tidak lolos dalam tes. Meta dan Dewi lolos
dari tes, mereka berdua diterima di perguruan tinggi di Surabaya, sedangkan Jane diterima di UI Depok,
tetepi ada satu di antara mereka yang tidak lolos dari seleksi itu, yaitu,
Anjani. Akhirnya Anjani mendaftar ke perguruan tinggi swasta temapat kuliah
Steve, dan mengambil jurusan teknik sipil. Steve terpaksa harus menerima
kenyataan hubungan jarak jauh dengan Meta.
Memasuki
dunia kampus membuat Meta semakin memahami
hakikat hidupnya. Ia mulai berintaksi dengan keislaman di Kampusnya. Segala
bentuk perhatian dari Steve, orang yang mencintainya, mulai tak terbalas.
Lelaki Scotland
itu semakin tidak memahami, mengapa cintanya tak terbalas. Meta telah menemukan cinta sejatinya. Ia berhijrah dan
meninggalkan Steve. Sepeninggal Meta, Steve berusaha mencari cinta yang
diinginkan Meta. Namun pencariannya tak pernah
selesai karena tiba-tiba ajal menjemputnya. Steve meninggal dalam kecelakaan.
Secara umum, saya dapat mengemukakan beberapa hal berikut
tentang novel ini :
- Novel ini adalah novel cinta remaja yang segar dan
“ngepop”, baik dari segi bahasa maupun settingnya. Membaca novel ini membuat
saya terkenang akan masa-masa SMA yang penuh romantika.
- Deskripsi tiap karakter (Anjani, Meta,
Dewi, Jane, dan Steve) cukup kuat dan boleh dibilang konsisten dari awal hingga
akhir.
- Alur cerita cukup lancar dan linear, tidak banyak flashback/
kilas balik.
- Puisi-puisi dan kutipan kata-kata mutiara, terutama
Jalaludin Rumi, sangat menarik.
Secara khusus, ada beberapa hal menurut saya yang
perlu “disoroti” :
- Sudut pandang cerita dalam novel ini agak membingungkan;
Bab 1 dilihat dari sudut pandang orang luar (Dewi, Meta,
dan Anjani dilihat sebagai pihak ketiga) sedangkan mulai bab 2 sampai 10 cerita
dikisahkan dari sudut pandang orang pertama (Aku) yang berbeda-beda. Aku di bab
2 adalah Steve, di bab 3 Meta, bab 4 Steve, bab 5 Meta kembali, bab 6 tetap
Meta, bab 7 Steve, bab 8 Anjani, bab 9 dan Meta
kembali. (mungkin ini adalah trend masa kini, dan saya yang ketinggalan jaman?)
- Konflik utama cerita tidak juga muncul secara tajam sampai
bab 6. Semula saya mengira masa lalu Steve yang pernah menjadi “drug addict”
yang akan menjadi penghambat hubungannya dengan Meta,
tetapi ternyata bukan. Seandainya konflik itu dimulai lebih awal, tentu penulis
bisa lebih leluasa mengembangkan komplikasi, konflik, sampai klimaks.
- Penggiringan komplikasi sampai klimaks terasa agak kurang
mulus dan realistis: Ketika Meta diterima SPMB di Surabaya, Steve merasa
khawatir kehilangan Meta, takut ada ‘cowo’
lain. Meta berusaha meyakinkan Steve untuk
tidak berkhawatir. Ternyata memang terjadi sesuatu di Surabaya-bukan
kehadiran lelaki lain, melainkan keinsyafan Meta
dan ‘jatuh cinta’nya dia pada Allah dan nilai-nilai ajaran Islam. Saya melihat
perubahan Meta-yang diawali/didahului perubahan Dewi- agak dipaksakan. Penulis
seharusnya bisa memberikan suatu “even” yang lebih mengguncangkan Dewi dan
Meta, yang akhirnya menarik mereka untuk mengikuti jalan tersebut, yang nota
bene sangat berbeda dengan karakter dan kepribadian kedua gadis itu: yang satu
genit, manja, dan suka berdandan, yang lain tomboy, suka iseng dan pemberani.
Akan berbeda jika sudah ada konflik batin sejak awal.
- Konflik batin paling kuat ada di Bab 9, dalam diri Meta. Kalau memang dating dari Dewi, seharusnya bisa
lebih dieksplorasi dan dieksploitasi. Mungkin ini bisa terjadi di kehidupan
nyata, tetapi menjadi kurang ‘greget’ jika dinovelkan.
- Mungkin akan terbersit tanya di benak pembaca: “Masak harus
segitu menderitanya sih, kalau mau jadi muslimah yang baik?” Jawaban untuk
pertanyaan ini bisa ya dan bisa tidak; ada banyak factor yang mempengaruhi.
Saya sangat suka Bab 9 karena konflik batin Meta
sangat realistis dan human hanya saja pemicunya kurang kuat.
- Alasan Steve mengikuti kegiatan kerohanian Islam juga
wajar; dia mau berbuat apa saja demi mendapatkan Meta
kembali (seperti kata Steve sendiri tentang temannya, Bobby).
- Perasaan Anjani juga sesungguhnya bisa lebih dieksploitasi
(sebagai tempat curhat yang menyimpan rasa dan luka). Kehadiran sepupu yang
“MBA” juga bisa menjadi pemicu yang kuat.
- Ending cerita bagi sebagian pembaca mungkin terasa tragis,
bagi sebagian yang lain bisa jadi pencerahan, sementara bagi yang lain terasa
ironis. Meta dan Steve jadian pada saat Steve
diopname di RS karena kecelakaan, dan mereka “putus” juga di RS, juga karena
kecelakaan. Pesan “Kalau jodoh takkan kemana” memang sering terdengar dan mudah
diucapkan, tetapi bisa jadi sangat perih dijalani.
- Akhirnya, Siluet Senja bisa diinterpretasi dengan berbagai
sudut pandang.
Adapun
kelemahan dari novel ini adalah, ceritanya terlalu menggurui, misalnya di situ Meta berubah menjadi orang yang alim, orang yang mengerti
betul agama. Meta memberikan penjelasan bahwa
dalam agama islam tidak ada yang namanya pacaran. Dalam islam dilarang
berdua-duaan. Dari situlah mengapa pembaca menilai novel ini menggurui.
Kelebihan
dari novel ini adalah, alurnya dan penggunaan bahasanya sederhana dan biasa
sehinngga memudahkan pembaca untuk memahami isi bacaan. Begitu juga isi
ceritanya dapat menghibur, sehingga pembaca bisa merasakan yang diceritakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar